Feodalisme Pesantren Yang Membebaskan

Beberapa waktu terakhir, tagar #FeodalismePesantren ramai beredar di media sosial. Isinya beragam, […]

Feodalisme Pesantren Yang Membebaskan

Beberapa waktu terakhir, tagar #FeodalismePesantren ramai beredar di media sosial. Isinya beragam, namun banyak di antaranya berisi potongan video yang menunjukkan santri mencium tangan atau bahkan bersujud di hadapan kiai. Reaksi warganet pun berhamburan. Sebagian mengecam tindakan itu sebagai bentuk “feodalisme religius”, “penghambaan manusia atas manusia”, hingga “budaya kultus individu”.

Kritik ini mungkin terdengar modern dan “membebaskan”. Namun, pertanyaannya, benarkah kita memahami dengan utuh apa yang sedang kita komentari? Karena potongan video, apalagi tanpa konteks, sering kali hanya memotret simbol, bukan substansi, dan simbol, seperti halnya bahasa, bisa sangat mudah disalahartikan ketika dibaca dengan kacamata yang asing terhadap tradisinya sendiri.

Relasi antara santri dan kiai memang tampak vertikal. Tapi hubungan itu bukan hubungan kuasa, melainkan ikatan nilai. Ia bukan hierarki yang menindas, tapi struktur yang membimbing. Apa yang disebut sebagai “feodalisme” dalam pesantren sesungguhnya jauh berbeda dari pengertian klasiknya, yakni sistem politik dan sosial yang menempatkan kekuasaan mutlak pada elite berdasarkan darah atau keturunan.

Di pesantren, kiai tidak selalu lahir dari bangsawan. Banyak dari mereka berasal dari keluarga biasa. Sebaliknya, santri yang lahir dari latar belakang sederhana bisa tumbuh menjadi tokoh besar karena kedalaman ilmunya. KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, bukan berasal dari kalangan priyayi atau elite kolonial. Tapi karena kealimannya, ia menjadi pemimpin umat. Hierarki di pesantren dibentuk oleh ilmu dan akhlak, bukan garis keturunan. Inilah yang disebut feodalisme fungsional, sebuah struktur yang berfungsi untuk menjaga tata nilai, bukan menindas kemerdekaan berpikir.

Lalu bagaimana dengan tindakan mencium tangan atau bahkan bersujud di hadapan kiai? Bukankah itu bentuk penghambaan? Jika dibaca secara literal, mungkin iya. Tapi dalam tradisi pesantren, tindakan itu adalah ekspresi tawaduk, kerendahan hati, kesadaran bahwa ilmu hanya bisa masuk ke hati yang tidak sombong. Bahkan Gus Dur pernah mengatakan: “Sujud kepada kiai adalah metafora kepatuhan pada ilmu, bukan pada manusia.” Simbol-simbol seperti sungkem, salim, atau mencium tangan guru adalah bagian dari etika belajar, bukan praktik perbudakan. Ia punya padanan di banyak budaya dari guru-shishya dalam tradisi India, hingga penghormatan kepada sensei dalam budaya Jepang.

Masalahnya, di era digital ini, banyak orang lebih cepat “reaktif” daripada “reflektif”. Potongan video yang viral lebih dipercaya daripada pemahaman yang mendalam. Inilah jebakan budaya visual, di mana tafsir simbol seringkali tercerabut dari akarnya. Anggapan lain yang sering muncul adalah bahwa pesantren menutup ruang kritik. Santri dianggap hanya patuh, tidak bisa berbeda pendapat dengan kiai. Tapi benarkah begitu?

Pesantren punya tradisi bahtsul masail, yaitu forum diskusi antar-santri dan kiai tentang berbagai persoalan fiqih dan sosial. Di forum ini, santri bisa menyampaikan pandangan, bahkan menyanggah, selama dengan argumen dan adab yang baik. Ada satu pepatah khas pesantren: “Al-khurūj ‘an al-ustādz istināf.” Keluar dari pendapat guru adalah awal kreativitas. Artinya, berbeda pendapat itu sah, bahkan dianjurkan, asalkan disampaikan dengan dasar ilmu, bukan ego. Ini bukan bentuk pembangkangan, tapi pembebasan berpikir yang terarah. Tentu saja, dari luar, semua ini tampak seperti relasi yang sangat hierarkis. Tapi perlu dipahami, tidak semua hierarki bersifat menindas. Kadang, dalam dunia ilmu dan spiritualitas, struktur justru dibutuhkan agar manusia bisa mendewasakan diri. Dalam pesantren, menundukkan kepala kepada guru bukan berarti kehilangan martabat. Justru di situlah letak kebebasannya, kebebasan dari kesombongan, dari “merasa tahu”, dari ketergesaan ingin diakui tanpa belajar sungguh-sungguh. Ini yang tidak disediakan oleh budaya instan hari ini. Semua ingin cepat, semua ingin setara, tapi enggan melewati jalan panjang: bersabar, menghargai proses, dan memahami bahwa ilmu itu cahaya dan cahaya tidak datang pada hati yang tertutup.

Tentu saja, pesantren bukan ruang suci. Ia tidak steril dari tantangan dan penyalahgunaan otoritas. Ada juga oknum yang menjadikan status kiai untuk kepentingan politik atau kekuasaan. Tapi menyamaratakan semua pesantren sebagai tempat feodalisme represif adalah bentuk ketidakadilan intelektual. Kritik terhadap pesantren sah dan perlu. Tapi mari kita pastikan bahwa kritik itu dibangun dari pemahaman utuh, bukan hanya dari potongan video viral atau asumsi-asumsi yang diimpor dari luar konteks budaya kita.

Dalam dunia yang makin individualistik, kadang sikap tawaduk dianggap kuno. Tapi barangkali, justru di situ letak kekuatan pesantren, ia mengajarkan bahwa tidak semua yang tunduk itu lemah. Bisa jadi, yang menunduk sedang belajar untuk naik’, dalam ilmu, akhlak, dan kematangan spiritual.

Kalau itu disebut feodalisme, maka mungkin kita sedang memperluas makna kata itu. Bukan lagi soal kekuasaan yang menindas, tapi tentang nilai feodalisme yang membebaskan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top