Absurditas Konten Anomali dan Hilangnya Nalar Sehat Anak

Kebiasaan saya di rumah selain momong anak, membantu mengerjakan PR, juga mendampingi […]

Absurditas Konten Anomali dan Hilangnya Nalar Sehat Anak

Kebiasaan saya di rumah selain momong anak, membantu mengerjakan PR, juga mendampingi mereka agar bisa belajar ngaji Qiroati dan Yanbu’a. Apa itu saja? Tidak dong. Salah satu kegiatan yang rutin adalah membacakan cerita dan menemani dolanan HP. Sesekali juga okrah-okrah lemah di depan rumah. Namanya juga anak-anak.

Sejak puasa Ramadan kemarin, karena intensitas itu, anak saya kedua Aksara Litera Ibdaputra sering berseloroh laporan. “Pa, ada anomali baru lo selain ‘Tung Tung Tung Sahur’. Namanya ‘Tornado Spaghetti.’ Batinku kala itu “iki pakanan apa janjane?”

Saya kemudian iseng cari, ternyata anomali itu konten di Youtube, dan medsos lainnya yang sangat absurd, ora ceta, bahkan membuat logika anak terjungkil balik bahkan disebut brainrot alias merusak akal sehat, tidak berpikir logis dan sistematis. Hambuh. “Pancen sikak tenan konten ini” dalam hati saya.

Absurditas Konten Anomali

Di tengah hiruk pikuk dunia digital yang semakin padat dan cepat, hadir sebuah gelombang konten yang tak terduga dan sulit dijelaskan dengan logika biasa. Aneh pol pokoke. Ini adalah dunia yang dihuni oleh makhluk-makhluk imajiner absurd tadi, seekor buaya yang bisa terbang sambil menjatuhkan bom bernama “Crocodilo Bombardilo”, lumba-lumba bersenjata berat seperti “Panzerina Delfina”, hingga pusaran mie yang menyerap dimensi bernama “Tornado Spaghetti” dan “Boneka Ambulabu”, sebuah gabungan katak dan ban. Pancen gemblung tenan sing gawe!

Mereka hadir di layar-layar kecil lewat HP yang dikonsumsi anak, dalam bentuk video pendek, meme, dan ilustrasi surealis yang menyebar seperti virus. Sekilas tampak lucu, aneh, bahkan kreatif. Tapi jika kita berhenti sejenak dan merenung, satu pertanyaan besar mengemuka: apa yang sebenarnya sedang terjadi pada cara berpikir kita?

Fenomena ini disebut oleh banyak netizen sebagai konten brainrot, konten yang saking anehnya, saking tidak masuk akalnya, terasa seperti “merusak otak”. Namun yang lebih mengkhawatirkan, brainrot bukan lagi sekadar selingan atau guyonan, melainkan menjadi bentuk konsumsi harian, bahkan preferensi utama generasi digital saat ini.

Tidak hanya saya. Teman-teman dosen, dan sahabat-sahabat pengurus Ma’arif Jateng yang punya anak usia PAUD/TK atau SD juga pada. Hahaha

Dalam konten seperti “Bombombini Gusini”, lebah kecil yang berdansa dengan bom menempel di tubuhnya atau “Bambino Nucleare”, seorang bayi nuklir yang bisa menghancurkan kota dengan tangisannya, tidak ada upaya menjelaskan apa pun. Tidak ada sebab-akibat, tidak ada narasi utuh, hanya fragmen absurd yang memancing tawa, keterkejutan, atau kekaguman aneh.

Mengapa ini terjadi? Mungkin karena realitas terlalu rumit. Dunia nyata penuh tekanan, tuntutan, dan masalah yang tidak kunjung selesai. Maka konten anomali menjadi pelarian: dunia alternatif di mana tidak ada aturan, dan segalanya mungkin, seabsurd apa pun itu. Di sinilah lahir karakter seperti “Scimpanzini Bananini”, simpanse kecil bersenjata pisang mutan, atau “Maccheroni Fantasma”, pasta hantu yang mengejar target sambil menyanyikan lagu opera. Dunia-dunia ini tidak menuntut kita berpikir. Mereka hanya menuntut kita merasakan, dan yang lebih sering: tertawa dalam kebingungan. Ngguateli tenan!

Dampak Konten Anomali

Tapi konsumsi semacam ini tidak tanpa dampak. Jika kita terus-menerus dicekoki hal-hal yang tanpa logika, maka logika itu sendiri lama-lama tidak terasa penting. Ketika absurd menjadi norma, maka nalar mulai kehilangan tempatnya. Kita bisa mulai melihat pola di mana seseorang lebih tertarik pada “Cappucino Assassino” secangkir kopi yang punya misi rahasia dan bisa membunuh daripada mendalami berita, membaca literatur serius, atau berdiskusi panjang tentang hal-hal nyata.

Efeknya perlahan namun nyata. Otak jadi terbiasa pada konten cepat, instan, dan berlebihan. Seperti pecandu dopamin, kita ingin terus terpapar kejutan-kejutan visual. Yang masuk akal terasa membosankan. Yang mengandung makna terasa melelahkan. Dan tanpa sadar, generasi muda mulai mengalami kesulitan membedakan antara hiburan dan kenyataan, antara satire dan kebodohan, antara kreativitas dan kekacauan murni.

Lalu, apakah semua ini buruk? Tidak seluruhnya. Konten anomali bisa menjadi ekspresi seni, perlawanan terhadap sistem nilai yang kaku, atau bentuk kritik sosial terselubung. Tapi seperti semua hal dalam hidup, yang berlebihan akan membawa kehancuran. Jika semua ruang diisi oleh makhluk seperti “Bulbito Bandito Traktorito” traktor koboi dengan semangat bandit, atau “Tralalero Tralala” burung opera yang membalik dimensi sambil menyanyi, maka dunia yang kita tinggali perlahan kehilangan daya rekatnya pada realitas.

Maka yang perlu kita lakukan bukanlah melarang atau membenci konten semacam ini. Kita hanya perlu menyadari, bahwa otak, seperti tubuh, butuh nutrisi. Kita bisa tertawa pada “Bambino Nucleare”, tapi juga harus mampu duduk tenang dan memahami mengapa sebuah puisi bisa mengubah cara kita melihat dunia. Kita boleh menikmati “Tornado Spaghetti”, tapi jangan lupa menyisihkan waktu untuk memahami bagaimana sistem demokrasi bekerja.

Strategi Menyikapi

Saya menganalisis dengan teori kebutuhan hierarki Maslow (1943), bahwa prinsipnya, manusia utamnya anak, bergerak dari kebutuhan dasar ke aktualisasi diri. Dalam konteks konsumsi konten anomali, brainrot menyerang lapisan bawah: hiburan cepat dan murah menggantikan kebutuhan makna. Orang tidak lagi naik ke aktualisasi diri, tapi stuck di kebutuhan rendah (hiburan, pelarian, dopamine instan).

Dalam konteks psikologi Islam, Al-Ghazali (1058-1111) menawarkan konsep Qalb dan Nafs. Maksude piye? Qalb (hati) menjadi pusat kesadaran spiritual. Nafs (jiwa nafsu) adalah aspek ego dan keinginan duniawi. Dalam konteks ini, konten brainrot memperkuat dominasi nafs ammārah (jiwa yang memerintahkan kepada keburukan). Hati yang sehat (qalbun salīm) akan merasa terganggu. Namun konsumsi terus-menerus membuat hati mengeras (qāsiyah), tidak lagi sensitif terhadap keburukan.

Konten brainrot memanfaatkan mekanisme psikologi dasar manusia: penguatan, insting evolusioner, dan pelarian dari makna. Dalam psikologi Islam, ini adalah gejala dominasi nafs dan lemahnya qalb yang tidak tersambung dengan cahaya ilahi.

Jika saya simpulkan, kita perlu menekankan pada anak agar mencapai mindfulness (kesadaran penuh) atau zikir dan muraqabah. Selain ituCognitive Behavioral Therapy atau muhasabah (introspeksi), dan digital detox atau bahasa saya “hijrah digital” dengan menyaring konten sebagai ibadah. Aja mung anomaliiiii wae. Anak harus distop menonton anomali, setidaknya sesuai porsinya. Begitu!

Bisakah Seimbang?

Bagi saya, solusinya adalah keseimbangan. Menyisipkan konten yang bernalar di tengah ledakan visual yang memusingkan. Mengajarkan generasi muda bahwa tidak semua hal harus membuat kita tertaw, kadang hal yang paling penting justru membuat kita berpikir, atau diam. Membiasakan diri dengan praktik “puasa konten”: berhenti sejenak dari konsumsi digital dan memberi ruang bagi pikiran untuk bernapas. Menguatkan literasi media agar anak-anak tahu kapan mereka sedang dihibur, kapan mereka sedang dimanipulasi, dan kapan mereka sedang diabaikanoleh logika.

Karena pada akhirnya, jika semua yang tersisa hanyalah “Crocodilo Bombardilo” yang menjatuhkan bom tanpa alasan, maka yang hancur bukan hanya kota imajinas tapi juga kemampuan kita untuk memahami dunia yang nyata.

Dunia boleh absurd. Tapi akal sehat tetap harus punya tempat untuk berpijak. Bukankah demikian?

Penulis adalah pemerhati pendidikan, Wakil Ketua LTN NU Temanggung.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top