Di Balik Janji Tambang dan Luka Ekologis Quo Vadis PBNU

Beberapa waktu lalu saya menyimak obrolan di kanal YouTube Rosi, yang menghadirkan […]

PBNU dan Pertambangan: Di Balik Janji Tambang dan Luka Ekologis Quo Vadis PBNU

Beberapa waktu lalu saya menyimak obrolan di kanal YouTube Rosi, yang menghadirkan diskusi hangat seputar tambang, khususnya di Raja Ampat. Di tengah perbincangan itu, nama Ulil Abshar Abdalla muncul dengan pendapatnya yang, mohon maaf, terasa jeblog dalam memahami realitas ekologis dan kehancuran yang nyata di depan mata. Betapapun saya tetap menghormati beliau sebagai ketua PBNU, namun pernyataan-pernyataan yang disampaikan terlalu jauh dari fakta lapangan dan cenderung memakai logika “jalan belakang” untuk menormalisasi kerusakan tambang sebagai bagian dari “kemajuan”.

Lebih dari itu, saya belum melihat adanya sosok dari PBNU hari ini yang mampu bersuara lantang, secara jernih dan berdasar fakta soal pertambangan dan kehancuran lingkungan. Sosok yang mampu meletakkan keberpihakan secara utuh kepada bumi dan makhluk hidup yang terdampak langsung oleh industri ekstraktif. Yang ada justru pembenaran-pembenaran yang tak jauh berbeda dengan narasi para pelaku industri, tambang untuk pembangunan, untuk kemajuan bangsa, dan seterusnya. Tapi di mana nurani kita saat menyaksikan tanah jadi tandus, sungai tercemar, manusia kehilangan ruang hidup, dan ekosistem hancur tak bisa dipulihkan?

Tuduhan “Wahabi lingkungan” terhadap para aktivis dan pemerhati lingkungan juga adalah bentuk delegitimasi yang kejam. Seakan-akan mereka yang menyuarakan suara bumi dan rakyat kecil adalah kaum puritan, keras kepala, tak memahami realitas. Padahal yang mereka suarakan adalah suara yang lahir dari penderitaan dan kerusakan yang nyata dari Kalimantan hingga Papua.

Gus Ulil, menyebut bahwa sebagian aktivis lingkungan menolak tambang secara total, lalu melabeli mereka sebagai Wahabi lingkungan. Tapi mari lihat siapa saja yang berdiri dalam barisan aktivis ini: ada Inayah Wahid, putri Gus Dur, yang merupakan penasihat Greenpeace Indonesia. Ada juga Gusdurian yang sejak lama lantang menyuarakan keadilan ekologis. Apakah semua ini akan kita cap sebagai “Wahabi lingkungan”? Apakah semua yang menyampaikan fakta dan data ekologis kini harus dicurigai motifnya?

Ini bukan soal siapa yang lebih religius, siapa yang lebih NU. Ini soal keberpihakan yang sangat mendasar, kepada bumi dan masa depan kehidupan. Jangan sampai hanya karena NU melalui beberapa badan otonomnya kebagian jatah konsesi tambang, maka kita mendadak lupa bahwa tambang adalah wajah lain dari kerakusan. Tidak ada satupun bukti valid bahwa pertambangan telah berhasil direhabilitasi dengan reboisasi nyata. Yang ada hanyalah bekas luka yang menganga di tubuh bumi.

Lebih dari itu, era industri ekstraktif di Indonesia sudah bukan soal “kedaulatan sumber daya alam” seperti yang dibayangkan. Kini kita hidup di era pasar bebas, ketika korporasi global dan modal besar bermain di atas aturan, menindih kepentingan rakyat kecil. Di tengah situasi seperti itu, apakah NU masih bisa berdiri tegak menjadi penjaga maqashid syariah, atau justru hanyut dalam arus narasi pembangunan yang penuh jebakan?

KH Ali Yafie dalam “Fiqh Lingkungan Hidup” bahkan telah mengingatkan bahwa operasi pertambangan di Indonesia “menciptakan kehancuran dan pencemaran lingkungan.” Beliau adalah ulama, bukan aktivis LSM. Tapi beliau berpihak kepada bumi, karena sadar bahwa merusak alam berarti mengkhianati amanah khalifah fil ardh yang diberikan Allah kepada manusia.

Jangan samakan tambang dan alam sebagai dua bentuk anugerah dari Tuhan. Keindahan alam adalah ciptaan-Nya, tambang adalah hasil keserakahan manusia yang memilih jalan pendek untuk memenuhi nafsu dunia. Kita boleh bicara soal manfaat ekonomi, tapi jangan korbankan realitas ekologis dan sosial yang hancur karena industri ini.

Pertanyaannya kini. Quo Vadis PBNU? Ke mana arah keberpihakan NU hari ini, kepada bumi atau pada tambang? Pada rakyat kecil atau pada kuasa modal?. Ini bukan soal ideologi kiri atau kanan, bukan soal Wahabi atau Aswaja. Ini soal nurani. Soal menyuarakan apa yang benar, meski tidak populer.

Vidio youtube dapat disimak di link ini: https://www.youtube.com/watch?v=sxq_-DP2W0Y

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top