Waktu Terbaik untuk Bersedekah Menurut Ajaran Nabi Muhammad SAW

Pelajari waktu yang tepat untuk bersedekah menurut ajaran Nabi Muhammad SAW, termasuk saat sehat, kikir, kaya, dan takut miskin. Temukan pentingnya kualitas sedekah dan manfaatnya dalam hidup.

Waktu Terbaik untuk Bersedekah Menurut Ajaran Nabi Muhammad SAW

Berikut adalah penjelasan mengenai waktu yang paling tepat untuk bersedekah menurut ajaran Nabi Muhammad SAW. Fokus utama di sini bukanlah pada jenis sedekah yang diberikan, melainkan pada waktu yang ideal untuk melakukannya. Jumlah sedekah yang diberikan (kuantitas) harus sejalan dengan tujuan dan manfaatnya (kualitas).

Sedekah yang kita lakukan seharusnya tidak didasarkan pada kondisi di mana kita sudah tidak memerlukan barang tersebut, melainkan harus diniatkan sejak awal sebagai bentuk amal sosial. Tidak seharusnya kita menunggu hingga kulkas penuh atau lemari sesak sebelum tergerak untuk berbagi dengan orang lain. Atau hanya menyadari pentingnya berbagi setelah mengalami sakit, yang mengingatkan kita bahwa harta bukanlah satu-satunya sumber kebahagiaan.

Dahulu, salah satu sahabat mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk menanyakan tentang jenis dan waktu sedekah yang paling utama. Rasulullah SAW memberikan jawaban yang bijak.

ان تصدق وانت صحيح، حريص وفي رواية شحيح، تأمل الغنى، وتخشى الفقر، ولا تهمل حتى اذا بلغت الحلقوم قلت لفلان كذا، ولفلان كذا، وقد كان لفلان. رواه البخاري عن ابي هريرة

Hendaknya engkau bersedekah dikala sehat, disaat kikir, ketika berangan-angan tajir, dan di waktu khawatir akan fakir. Jangan tunda sedekahmu hingga menjelang ajal. Saat itu kamu berkata, harta ini untuk dia dan ini untuk dia. Sungguh harta ini telah dimilikinya.

Saat Sehat

Sedekah yang dilakukan dalam keadaan sehat memiliki nilai pahala yang berbeda dibandingkan dengan saat seseorang sedang sakit. Ketika tubuh dalam kondisi prima, keinginan untuk memenuhi berbagai kebutuhan sering kali meningkat. Banyak dari keputusan belanja yang diambil bukan berdasarkan kebutuhan yang mendasar, melainkan lebih kepada keinginan yang bersifat subjektif. Dalam keadaan sehat, keinginan terhadap berbagai hal cenderung tidak esensial.

Dalam kondisi sehat, dengan berbagai kebutuhan dan keinginan yang ada, sedekah dapat menjadi prioritas yang lebih tinggi. Mengendalikan ego duniawi saat tubuh bugar menjadi tantangan tersendiri, sehingga nilai sedekah dalam keadaan ini menjadi sangat signifikan. Seperti halnya, orang yang merasa kenyang cenderung lebih mudah untuk berbagi dibandingkan dengan mereka yang sedang merasakan lapar.

Sebaliknya, bagi mereka yang telah lama terbaring di rumah sakit atau mendekati akhir hayat, hasrat terhadap hal-hal duniawi cenderung berkurang, sehingga kesadaran akan pentingnya persiapan untuk kehidupan setelah mati semakin meningkat. Syekh Muhammad Abdul Aziz Al-Khuli dalam kitabnya Al-Adab an-Nabawi menjelaskan hadits ini dengan mendalam (hal. 140).

ان تصدق وانت صحيح الجسم معافى في بدنك لم ينقطع املك من الحياة ولم تقف بك القدم على حافة القبر، اذ المرض يقصر يد الملك عن ملكه، وسخاوته بالمال اذ ذاك لا تمحو عنه سمة البخل ولا تدل على طيب نفسه بالعطاء، لانه يكون قد مال الحياة، وسئم العيش ورأى ماله قد صار لغيره.

Saat Kikir

Ketika seseorang berada dalam keadaan sehat, seringkali mereka menunjukkan sikap kikir. Mereka merasa enggan untuk mengeluarkan uang yang diperoleh dengan susah payah, terutama ketika harus mengalokasikannya untuk bersedekah. Setelah sebulan bekerja, muncul kecemasan saat mendekati akhir bulan dan harapan saat awal bulan, namun di sisi lain, mereka dihadapkan pada anjuran untuk berderma.

Melakukan sedekah pada saat menerima gaji bagi pegawai, karyawan, buruh, atau siapa pun yang bergaji memerlukan ketulusan hati. Jika seseorang dapat menyisihkan sejumlah kecil untuk bersedekah setiap kali menerima gaji, meskipun masih ada utang di warung, maka tindakan tersebut termasuk dalam kategori yang sangat dihargai.

Ketika Dunia dalam Genggaman

Islam mengajarkan prinsip zuhud, namun tetap menekankan pentingnya tidak mengabaikan urusan duniawi. Kehidupan yang seimbang antara aspek dunia dan akhirat adalah hal yang ditekankan. Dalam ajaran Islam, tidak ada larangan bagi umatnya untuk mencapai kekayaan; bahkan, hal ini secara tidak langsung didorong melalui kewajiban zakat dan pelaksanaan ibadah haji.

Ketika seseorang berada dalam posisi yang menguntungkan, seperti menjadi selebriti media sosial atau influencer terkenal, dan saat dunia seolah berada dalam genggamannya, itu adalah waktu yang tepat untuk beramal. Aliran harta yang melimpah ke rekening seharusnya tidak menimbulkan rasa cemas, melainkan mendorong sikap dermawan dan kemudahan dalam berbagi.

Ketika Takut Jatuh miskin

Manusia tidak selamanya berada di puncak keberhasilan. Terkadang, di penghujung hidupnya, ia mengalami kejatuhan dan terpuruk. Seorang pengusaha tidak hanya dituntut untuk mahir dalam mengelola bisnis, tetapi juga harus cerdas dalam mengatur keuangan. Setiap perusahaan memiliki risiko untuk mengalami kebangkrutan atau kolaps.

Adalah hal yang umum bagi perusahaan besar untuk terlibat dalam kegiatan amal atau memberikan donasi kepada masyarakat sekitar. Sangat ironis jika kekayaan yang melimpah justru menjauhkan mereka dari kepedulian terhadap warga. Namun, tindakan yang luar biasa terlihat ketika perusahaan atau individu tetap konsisten dalam bersedekah meskipun dalam kondisi keuangan yang tidak stabil. Deflasi tidak menghalangi niat untuk terus berdonasi atau berkontribusi bagi kepentingan umat.

Kesimpulannya, ketika tubuh masih sehat dan bertenaga, sifat kikir, ambisi duniawi, dan ketakutan akan kemiskinan sering kali menghalangi keinginan untuk berbagi. Sebaliknya, ketika harapan hidup sudah sangat tipis atau terdiagnosis dengan penyakit kronis, keinginan untuk mengumpulkan harta duniawi cenderung memudar, sehingga seseorang menjadi lebih dermawan. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Munafiqun: Ayat 10 (Juz 28).

وَاَنْفِقُوْا مِنْ مَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُوْلَ رَبِّ لَوْلَآ اَخَّرْتَنِيْٓ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍۚ فَاَصَّدَّقَ وَاَكُنْ مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ

Infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antaramu. Dia lalu berkata (sambil menyesal), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)-ku sedikit waktu lagi, aku akan dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang saleh.”

Seperti halnya sedekah sebesar 10 ribu dari individu yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, nilai sedekah tersebut di hadapan Allah Swt. tentunya tidak sebanding dengan sedekah sebesar 10 ribu yang diberikan oleh mereka yang berada di kalangan ekonomi menengah ke atas. Demikian pula, sedekah yang diberikan oleh orang yang sehat akan memiliki nilai yang berbeda dibandingkan dengan sedekah yang diberikan oleh orang yang sedang sakit.

Wallahu a’lam…

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top